Jakarta, CNN Indonesia -- Perolehan suara Partai Demokrat dari hasil hitung cepat sejumlah lembaga s...
Jakarta, CNN Indonesia -- Perolehan suara
dari hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei merosot drastis dari pemilihan legislatif 2014. Berdasarkan hitung cepat Litbang Kompas dengan jumlah suara masuk 93 persen hingga Jumat (19/4) pagi, Demokrat berada di posisi ketujuh dengan perolehan suara 8,05 persen. Posisinya secara berturut-turut berada di bawah PDIP, disusul Gerindra, Golkar, PKB, PKS, dan NasDem.
Hitung cepat versi LSI Dennya JA yang sudah selesai juga menyebut Demokrat berada di posisi 7 dengan perolehan 6,81 persen. Suara Demokrat versi LSI Denny JA bahkan kalah oleh PKS (8,04 persen) dan Nasdem (8,53 persen).
Pada Pileg 2014, Demokrat berada di peringkat keempat di bawah PDIP, Golkar, dan Gerindra. Dari hasil resmi KPU saat itu, Demokrat memperoleh sekitar 12 juta suara atau 10,19 persen.
Padahal Demokrat pernah jadi pemenang pada Pemilu 2009 dengan perolehan suara mencapai 20,85 persen.
Anjloknya perolehan suara ini dinilai terjadi karena tak adanya lagi figur kuat di Demokrat.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia Cecep Hidayat mengatakan, sejak lama Demokrat memang mengandalkan sosok figur untuk mendongkrak suara. Satu-satunya sosok itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang juga menjabat sebagai ketua umum sekaligus Presiden RI periode 2004-2009.
Faktor ini juga terbukti mampu meraup suara Demokrat pada Pileg 2004 dan 2009. SBY yang menjabat sebagai presiden dua periode itu mampu memberikan efek ekor jas (coat tail effect) bagi Demokrat.
Namun selama masa kampanye Pemilu 2019, SBY jarang turun langsung ke lapangan. Ia bahkan terpaksa absen kampanye sejak istrinya, Ani Yudhoyono sakit kanker dan mesti dirawat di Singapura.
"Jadi ketika SBY enggak bisa all out dalam kampanye, orang akhirnya berpikir untuk beralih ke pilihan lain," ujar Cecep kepada CNNIndonesia.com, Kamis (18/4).
Hal ini diperburuk dengan ketiadaan figur pengganti sekuat SBY di Demokrat. Putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono, yang selama ini digadang-gadang sebagai pengganti dianggap belum mampu menyamai kemampuan sang ayah.
Cecep menyebut sejak lama SBY memang ingin menyiapkan AHY sebagai pengganti. Namun, menurut dia, sosok AHY belum memiliki karakter sekuat SBY.
"Mereka ingin orbitkan AHY tapi enggak cukup karakternya. Anak muda baru, 'disapih' untuk meluncur tapi enggak bisa. Akhirnya suara Demokrat turun drastis," katanya.
Selain faktor ketokohan, Demokrat juga dinilai gagal meraup suara lantaran kinerja mesin partai yang tak maksimal. Apalagi Demokrat juga dinilai tak punya basis massa tradisional atau pendukung loyal yang siap digerakkan untuk membantu calon pilihannya menang.
"Kalau enggak punya basis massa tradisional, harusnya mesin partainya bekerja. Seperti Golkar, dia enggak punya basis massa tradisional tapi mesin partainya jalan sehingga suaranya bagus. Partai lain juga rata-rata punya basis massa tradisional," kata Cecep.
Faktor lain yang menjadi penyebab turunnya suara Demokrat, lanjut Cecep, juga dipengaruhi ketidakjelasan sikap di masa pemerintahan Joko Widodo. Sejak awal pemerintahan Jokowi, Demokrat memilih untuk netral dengan tak memihak siapa pun. Namun Cecep menilai, sikap itu justru menjadi bumerang bagi Demokrat sendiri.
Pernyataan sikap baru disampaikan Demokrat pada Pilpres 2019 dengan menyatakan dukungan pada kubu oposisi, Prabowo-Sandiaga Uno. Hanya saja pernyataan sikap itu juga dinilai Cecep tak jelas lantaran Demokrat kerap melontarkan pernyataan ambigu.
Misalnya saat Wasekjen Demokrat Andi Arief yang menyebut Prabowo sebagai jenderal kardus hingga yang terakhir pernyataan SBY saat mengkritik kampanye akbar Prabowo di GBK yang eksklusif.
"Mereka memang merapat ke Prabowo, tapi statement-nya ambigu melulu. Saya kira masyarakat juga mempertimbangkan, kehati-hatian Demokrat ini justru membuat posisinya menjadi tidak jelas," ucapnya.
Untuk mengantisipasi terulangnya kegagalan dalam Pileg 2024, Cecep mengatakan, Demokrat harus mengambil sikap tegas. Alih-alih berada di kubu posisi, menurutnya, Demokrat akan lebih berhasil meraih hati para pemilih di 2024 jika bergabung dengan pemerintahan yang terpilih. Cara ini diyakini bisa menjadi peluang, khususnya bagi AHY.
"Saran saya mending dia ikut di barisan pemerintah agar tokoh yang ingin ditonjolkan seperti AHY misalnya, bisa sering muncul. Kerja politik ini kan kerja maraton, jadi lima tahun cukuplah. Dan dia juga sudah cukup matang di 2024," katanya.
"Sepanjang bisa memposisikan diri secara jelas dan mendengarkan aspirasi masyarakat, pasti bisa meraih keuntungan di 2024. Tapi kalau posisi politiknya enggak jelas, abu-abu ya susah juga," kata Cecep.
[Gambas:Video CNN] (psp/sur)
Read More
Tidak ada komentar