Judul : “Moderasi Beragama: Dari Indonesia Untuk Dunia” Penulis : Babun Suharto, et al...
Judul : “Moderasi Beragama: Dari Indonesia
Untuk Dunia”
Penulis : Babun Suharto, et all
Penerbit : LKiS
Tahun : 2019
Jumlah halaman : 410 halaman
Peresensi : Afidatul Asmar, S.Sos., M.Sos.
Pendahuluan
Sebagai sesuatu
kekuatan berabad-abad lamanya agama menjadi doktrin yang kuat, sebagaimana
prodak moderasi beragama yang akhir-akhir ini buming dan aktif di
dengung-dengungkan, di laksanakan bahkan menjadi bahasa sehari-hari semua
kalangan. Adanya gerakan yang kuat dari radikalisme yang kerap di kaitkan tentang
Islam, sehingga mendorong sejumlah tokoh, lembaga, negara, bahkan dunia
merespon dan memerankan secara aktif terkait moderasi beragama.
Didalam buku terbaru yang merupakan kumpulan pandangan dan pendapat Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri dibawah naungan Kementrian Agama yakni, Moderasi Beragama, Dari Indonesia Untuk Dunia. Persoalannya untuk mendefenisikan dan mengidentifikasi sesuatu yang berada 'ditengah' tidaklah mudah. Menjelaskan, memberikan pengertian, bahkan menjadikannya sebagai kegiatan yang konsisten didalam melihat berbagai persoalan ini. Oleh karenanya didalam membaca buku ini menjadikan satu pandangan objektif tidaklah mudah. Dikarenakan berbagai opini dari kepala yang berbeda sejatinya akan mempengaruhi hasil dari perenungan setiap tulisan rektor ini. Belum lagi dengan maraknya persoalan keagamaan, banyak yang mengklaim dirinya sebagai kelompok, golongan, bahkan individu yang moderat. Sehingga dalam buku ini berupaya merumuskan alternatif yang bersifat dalam pandangan agama jami (sintesis) dan mani’ (defenitif) tentang apa itu moerasi beragama.
Dalam pemahaman agama
Islam sendiri moderat adalah realitas yang tidak terbantahkan. Realitas tersebut
dapat kita temukan diberbagai sumber teks suci, baik Al-Qur’an (Q.S
Al-Baqarah: 143) maupun hadits Nabi. Nabi, misalnya menyatakan “sebaik-baik
persoalan adalah yang tengah-tengah” (khayr
al-umur awasatuha). Inilah yang menjadi awal dari berbagai bentuk
ekstremitas yang ada pada saat diturunkannya agama ini: ada Yahudi yang terlalu
rigid dalam aspek eksoterik keagamaan, disatu sisi Nasrani yang terlalu
“longgar” atau esoteris dalam aspek-aspek yang sama, di sisi lain. Di
tengah-tengah dua kutub tradisi keagamaan semacam inilah Islam diturunkan ke
muka bumi.
Bagian
Pendahuluan dan Kata Sambutan
Dalam buku ini
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, MA.
menegaskan ada dua alasan besar paradigma moderasi beragama di Indonesia
penting untuk dibangun, Pertama, menempatkan agama pada fungsi semestinya.
Agama diturunkan oleh Sang Khalik untuk kesejahteraan dan kedamaian manusia ( hudanlinnas). Yang butuh terhadap agama
adalah manusia, bukan Tuhan. Oleh karenanya, bagaimana agama itu dapat difahami
dan memberikan manfaat bagi manusia menjadi keniscayaan. Agama harus dapat
dijelaskan dengan “bahasa kemanusiaan” dan memberikan efek terhadap peningkatan
harkat dan martabat kemanusiaan, bukan menjadi justifikasi pelanggaran terhadap
hak-hak kemanusiaan. Kedua, memahami agama dan sikap beragama yang selaras dengan nilai kebangsaan berdasarkan ideologi
Pancaila. Agama dan Pancasila memiliki relasi yang sangat penting dan saling
mengisi, bukan difahami sebagai ideologi yang saling bertentangan dan
membedakan. Menjungjung tinggi keindonesiaan berdasarkan pancasila sebagai
perwujudan dari sikap keislaman merupakan kata kunci dari moderasi beragama.
Sejalan dengan Rapat
Kerja Nasional (RAKORNAS) Kementrian Agama Tahun 2019 yang menghasilkan
kesepakatan untuk menjadikan visi Moderasi Beragama sebagai mantra dan kata
kunci yang menjiwai seluruh satuan kerja Kementrian Agama, termasuk di
lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan. Yang kemudian dalam pandangan Ketua
Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) “kita menyadari
bersama bahwa tangtangan dunia pendidikan semkin kompleks, ditandai dengan
kelompok keagamaan ekslusif yang tengah menyusup di lingkungan kampus, termasuk
diperguruan tinggi keagamaan. Para pimpinan perguruan tinggi tidak boleh abai
akan kondisi yang semakin hari semakin mengancam”. Sehingga dengan terbitnya
buku ini menjadikan adanya kegelisahan pimpinan perguruan tinggi sekaligus
bentuk tanggung jawab ilmiah untuk memberikan prespektif yang dapat digunakan
sebagai langkah awal dalam implementasi moderasi beragama di lingkungan
perguruan tinggi keagamaan secara khusus, dan dalam aktifitas kita secara umum.
Dengan mewakilkan
kampus masing-masing di berbagai daerah Indonesia, buku ini menjadi bagian
rujukan agama, perguruan tinggi, bahkan kemajuan dunia berfikir terkait
moderasi beragama. Hal ini dapat kita ukur melalui 20 tulisan-tulisan pemimpin
perguruan tinggi Islam yang berada di Indonesia. Tentunya dari setiap pimpinan
berusaha membangun langkah dan strategi didalam menyikapi moderasi agama secara
umum terkhusus bukti kongkrit yang dibangun pada kampus-kampus yang menjadi
tempat mengabdi. Sehingga tidak ada bagian-bagian khusus dalam membagi buku
ini. Yang akan kita temui pada resensi ini adalah khasan, ciri serta strategi setiap pemimpin yang dirangkum menjadi poin didalam pengambilan keputusan serta
ukuran didalam membumingkan moderasi beragama.
Bagian
Isi Buku / Penjelasan dan Strategi
Terkait Moderasi Beragama
Diawali
Babun Suharto selaku Rektor IAIN Jember, mengemukakan ukuran perguruan tinggi
tidak terlepas dari mahasiswa dan seluruh civitas akademik akan cenderung
lebih terbuka dan toleran terhadap upaya pemahaman agama yang berbeda. Kondisi
ini pada gilirannya mendorong lahirnya pendekatan non-mazhabi dalam kajian
Islam di Indonesia yang didasarkan pada pendekatan interfertatif, sensitivities, social sensitivities dan inter-group sensitivitie.
Yang menurut pemahaman
peresensi adalah bagaimana kemudian Rektor IAIN Jember berupaya mengatakan
bahwa gagasan para perguruan tinggi hari ini sudah mengalami perubahan dan
peningkatan sejalan dengan kajian, tulisan serta penerapan yang diambil di setiap
perguruan tinggi, dan tanpa mengurangi esesnsi dari kebudayaan yang dimiliki
setiap daerah, dalam hal ini setiap perguruan tinggi Islam negeri.
Kedua,
Penguatan Moderasi Islam Indonesia dan Peran PTKIN, oleh TGS. Sidurrahman. Rektor
UIN Sumatera Utara. Mengemukakan dalam tulisannya, bagaimana kemudian moderasi
beragama di identifikasi dan dilaksanakan didunia kampus PTKIN yaitu dengan
mengelompokan para alumni pesantren dan SMU, selanjtunya dengan membagi latar
belakang pesantren yang nuansanya sejalan dengan PTKIN. Terus langkah untuk
alumni SMU dengan membaginya dari yang aktif kekiatan ekstrakulikuler dan non
ektrakulikuler. Mengacu pada pandangan bahwa non ektrakulikuler ini masih mudah
untuk diajarkan terkait paham Islam mderat, sedangkan yang aktif dengan
kegiatan ekstrakulikuler semisal Osis, dan lain perlunya narasi tandingan agar
mengimbangi pemahaman mereka didalam PTKIN. Sebagai puncak dari gambaran
presensi terkait tulisan ini ditemukannya pengklsifikasian, atau kelompok di
dalam menyikapi mahasiswa khususnya alumni SMU didalam menerima keilmuan di PTKIN. Sebagai
akhir ditemukannya juga pemaknaan terkait LDK yang masih mampu menerima
nilai-nilai dari moderasi beragama.
Bagian ketiga penulis berupaya memberikan
pandangan dan langkah strategis yang dilakukan oleh UIN SUSKA Riau, dalam hal
ini di jelakan oleh rektor K.H Akhmad Mujahidin “moderasi tidak sebatas dalam
beragama, namun lebih jauh secara khusus dijelaskan berkaitan tentang kurikulum
didalam menangkal faham-faham radikalisme dan terorisme, yang diaplikasikan
pada perguruan tinggi Islam, salah satunya adalah Universitas Islam Negeri
Syarif Kasim Riau. Poin selanjutnya adalah seluruh jajaran baik Pimpinan,
Dosen, Staf, dan Organisasi Kemahasiswaan di dalam melakukan keilmuan apapun
tetap mengutamakan ahlak sebagai bagian yang perlu dan diutamakan dalam
bersikap. Untuk bagian terakhir yang mampu difahamai oleh presensi terkait
tulisan yang di paparkan oleh rektor UIN SUSKA Riau adalah berupaya meyakinkan
kepada pembaca terkait strategi seluruh masyarakat di lingkungan kampus didalam
merespon terkait moderasi beragama adalah yang utama, hal ini sesuai dengan
penjagaan agama dengan ke-Islaman serta ke-Inonesiaan.
Keempat,
dengan judul pandangan Moderasi Karakter
Asli Agama Islam, yang di paparkan
oleh Mahmud selaku Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Secara jelas dalam
narasinya bahwa moderasi beragama, bangsa , bernegara adalah identitas agama
Islam, dengan penguatan sumber Al-Qur’an yang dalam bahasanya terciptanya communal harmony, yakni masyarakat yang
membangun cinta terhadap sesamanya. Bukti selanjutnya penulis menegaskan dengan
contoh Nabi Muhammad dalam fase penyebaran agama Islam mengedepankan budaya
harmonis dibuktikan dengan perah yang di lakukan Muhammad pada fase perang Uhud
saja. Belum lagi bukti selanjutnya adalah kegiatan saat menikahkan Fatima, nabi menggunakan jasa orang Yahudi. Sebagai
bentuk bagaimana jalan dan kebersamaan, penghormatan sesame pemeluk agama baian dari moderasi beragama itu
sendiri.
Pemaparan bagian kelima, Samsul Nizar Ketua STAIN Bengkalis-Riau,
yang juga mengangkat prespekti moderasi beragama dan kekhalifaan secara global.
Didalam beberapa stategi yang terdiri dari lima bagian, presensi mengkhususkan
mata bijak yang di tuliskan “memang tak ada manusia yang sempurna, namun
jadilah manusia untuk saling menyempurnakan, di sisi lain menjadi benar itu
baik, namun merasa paling benar justru perilaku yang tidak baik”. Dimana puncak
dari tulisan tersebut mengajarkan esensi pengetahuan dan manusia modern didalam
dunia tidak terlepas dari hasil akhir dari manusia didalam berpradaban tinggi
atau sebaliknya justru menjadikan manusia terletak pada posisi yang paling
hina.
Keenam,
datang dari penjelasan tulisan H. Muhibbin, Rektor UIN Walisongo Semarang,
menurut beliau dalam judul Hakekat
Moderasi Beragama, dengan semakin banyaknya teori, karya bahkan hukum terkait
moderasi beragama, maka gerakan radikal semakin mampu uuntuk kita tekan,
diawali dengan Islam moderat dan ekstrim, serta keteladanan didalam
mengplikasikan moderasi beragama. Kalopun dimasyarakat terjadi sebaliknya,
artinya semakin banyaknya kegiatan radikalisme berarti ada yang salah dalam
masyarakat kita. Karenanya sudah menjadi keawajiban buat seluruh masyarakat
Indonesia mengedepankan Islam moderat dan umumnya masyarakat muslim yang ada di
dunia.
Ketujuh,
Idrus Al Hamid Rektor IAIN Fattahul Muluk Papua, yang didalam tulisannya
menyatakan “tulisan ini merupakan refleksi akademik Cendekiyah Poros Timur
Nusantara. Rekontruksi Moderasi Beragama.” Dimana penulis membaginya kedalam Derivasi Class: sebuah ajakan untuk
mengikuti anjuran tokoh panutan yang dianggap kudus. Yang wajib meskipun harus
berbenturan dengan lainnya. Inilah yang kemudian menjadi peluang ideology radikalisme
dan terorisme memainkan eranannya. Sehingga moderasi beragama adalah antisipasi
didalam merekontruksi perkembangan zaman atau Era Millineal. Selanjutnya Derivasi Perubahan Class yaitu sebuak
produk nuansa baru kelas social didalam masyarakat. Dengan contoh beberapa simbol-simbol
keagamaan, politisi, elit, tokoh masyarakat, yang kemudian menghasilkan
ketengangan antara yang hak dan batil,
sehingga menghasilkan moderasi beragama dalam akulturasi dan semangat
baru didalam menata masyarakat, agama, serta dalam dunia kampus moderasi
sebagai bentuk dari langkah-langkah berupa ajakan polariasi berupa seminar, simposium,
dan kegiatan-kegiatan baik untuk Indonesia yang kita cintai ini.
Kedelapan,
pandangan oleh H. Ibrahim Siregar, Rektor IAIN Padangsidimpuan. Mengangkat
tulisan dalam buku terkait lokal masyarakat dan tradisi Batak dengan kaitannya
dalam moderasi beragama. Diawali dengan dialektika antara slam dan budaya lokal
yang kemudian menjadikan religi dan ritual sebagai kontestasi medan kajian dan
paradaigma baru. Di contohkan misalnya tradisi panaek bungkulan, sebuah tradisi
jauh sebelum Islam masuk ketanah Batak , tradisi leluhur ini telah di kenal
oleh Batak Angkola. Sehingga dalam konsep moderasi beragama dalam pemahaman
peresensi di tulisan ini, berupayanya penulis menghadirkan moderasi agama sebagai sebuah jalan didalam menjelaskan
tradisi dan agama Islam Batak adala satu kesatuan, sebuah arus timbal balik. Karena
tradisi erta kaitannya dengan keyakinan, pengetahuan, pengalaman (realitas) dan
kondisi spritualitas sebagai unsur-unsur religiuitas. Sehingga penggabungan
keduanya adalah bagian dari peradaban baru diatas pondasi moderasi beragama.
Kesembilan, Epistomologi Sosial Keberagamaan
Masyarakat: Studi Genealogi Islam Jawa oleh H. Mudzakir, Rektor IAIN Kudus,
yang mendiskripsikan bagaimana Islam dan Indonesia tidak terlepas dari kekuatan
dan pengaruh Jawa. Penjelasan terebut mampu kita dalami saat membaca tulisan
penulis didalam perkembangan Islam yang awal mulanya masuk di Nusantara
kemudian melalui beberapa tipikasi atau pengikut, diantaranya pengikut Islam
Modernis, kemudian Islam Tradisionalis, serta Islam Kejawen. Selanjutnya genealogi
inilah yang kemudian membentuk Islam Jawa yang sampai hari ini mengakar dan
kuat dalam esensi bagian dalam moderasi beragama. Bagi presensi memandang
moderasi beragama ketika dikaitkan tentang jaman VOC hingga kerajan Islam
Mataram adalah bukti dan kekuatan yang yang masih kuat hingga kini, sebagai
contoh kitab-kitab wirid terkait tentang filsafat ketuhanan Raden
Ronggowarsito, dalam serat WIrid Hidayat Jati serta pengaruh terhadap
spritualitas Islam Kejawen adalah; tewrminologi Suwung, sebelum ada sesuatu. Yang dalam penjeasannya diartikan yang
pertama-tama adalah Tuhan Allah, tidak ada Tuhan melainkan Allah. Yang jelas
sangat erat kaitannya tentanh pemahamann Tuhan dalam kalangan Islam hari ini.
Kesepuluh,
Syarif, Rektor IAIN Pontianak. Terkait dengan konsep tulisan yang ditawarkan
menyikapi moderasi beragama, di awali kata jihad dengan makna perang di
maksudkan sebagai sangat tidak tepat. Mengacu dari Al-Quran dalam pemaknaannya
sangat luas dalam banyak aspek kehidupan lintas ruang dan waktu. Perang dalam
satu kesatuhan jihad adalah benar. Akan tetapi Qarinatnya yang dimaksudkan
adalah memahami jihad perang bukanlah semata-mata sebagai sebuah kehancuran dan
kezaliman. Sehingga terkait moderasi beragama yang ditemukan dalam tulisan oleh
peresensi adalah bagaimana konsep jihad itu dimaknai oleh setiap ummat,
terkhusus Islam dalam kehidupan sehari-hari mampu mangamalkan ajaran Islam dan
memahami ibadah keapda Allah tanpa menggunakan kezaliman, makar, penghinaan,
dan sebagainya yang mampu memecah beah ummat.
Islam
dan Multikulturalusme, oleh Rektor IAIN Bone adalah bagian kesebelas dalam tulisan dalam buku ini. Penulis
menjelaskan bahwa Islam dan bentuk-bentuk yang dilakukan sebagian kecil rakyat
Indonesia, ironi itu dibangun dari bentuk pembela Islam sering berteriak “Allahu
Akbar”, berpakaian tertentu, beratribut
yang melambangkan kesucian Islam. Hingga pada pelaksanaan pembubaran
paksa yang pada esensinya bertentangan dengan ajaran Islam. Dari pengatar
tersebut selanjutnya dijelaskan bahwa, ada pemaknaan dan perlunya pemahaman
terkait multikulturalisme, yang secara asala kata sudah menjadi bagian dari
Indonesia, ber-aneka ragam, banyak, warna-warni, bhineka, dan kata-kata yang
bermakna banyak atau jamak. Sedang kultural yang berarti kultur, tradisi,
kebiasaaan, keyakinan, dan budaya. Kemudian tidak lupa di sandingkannya
pemahaman Islam didalam menjembatani multikulturalisme. Pada akhirnya yang
mampu di gambarkan oleh peresensi terhadap tulisan ini. Dalam kaidah moderasi
beragama adalah benar dalam pemahaman terkait penghormatan tidak hanya sebatas
kepada hak dan kewajiban sesuai esensi dari Negara. Akan tetapi lebih dara pada
itu, kebudayaan, tradisi, adat istiadat, kebiasaan diperlukan apresiasi,
perhatian dan moderasi beragama adalah bagian nawacita tersebut.
Terkait untuk tulisan keduabelas hingga keduapuluh, yang masing-masing dipaparkan oleh Hasbullah Toisuta
(Rektor IAIN Ambon), H. Mudofir Abdullah (Rektor IAIN Surakarta), Mujiburrahman
(Rektor UIN Antasari Banjarmasin), H. Segaf S. Pettalongi (Rektor IAIN Palu),
Muhammad Ilyasin (Rektor IAIN Samarinda), Moh. Mukri (Rektor UIN Raden Intan
Lampung), Khairil Anwar (Rektor IAIN Palangkaraya), KH. Fauzul Iman (Rektor UIN
Sultan Maulana Hasanuddin Banten), Mazdar Hilmy (Rektor UIN Sunan Ampel
Surabaya). Masing-masing rektor berupaya menggambarkan moderasi beragama pada
prespektif, keilmuan, budaya kearifan lokal, serta tokoh dan penguatan
pancasila. Sejatinya semua berpesan betapa pentingnya memahami perbedaan sejak
dini, utamanya dalam konteks bersosialisasi baik di lingkungan masyarakat,
tempat kerja, agama, hingga Negara. Terkhusus kepada PTKIN sebagai bagian
generasi pelanjut bangsa, calon muballigh,
calon sekaligus penjaga kestabilan dunia. Perlu di perkenalkan moderasi
beragama sebagai bagian didalam menagkal faham radikalisme dan terorisme yang
berupaya memudarkan nilai-nilai Pancasila yang gerus oleh ideologi luar.
Sehingga mengutip
tulisan akhir dari Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, rumusan moderasi Beragama
harus mampu mencakup seluruh aspek kehidupan ummat, mulai dari hal yang bersifat
remeh-temeh seperti tata cara berpakaian, panduan berkomunikasi dan
berinteraksi, hingga menyangkut hal-hal makro seperti panduan berbangsa dan
bernegara. Masyarakat juga perlu dipahamkan bahwa profil kesalehan sebagaimana
tertulis secara harfiyah dalam kitab suci tidak serta merta harus direplikasi
dalam konteks kita sekarang ini karena belum tentu relefan dengan kebutuhan dan
tantangan zaman. Sebaliknya segala yang tidak ada dalam kitab suci secara
harfiyah di identikan tidak baik sesuai ajaran Islam.
Tanggapan
Presensi Secara Umum
Buku ini berlimpah
dengan hikayat-hikayat terkait moderasi
beragama yang secara logis memberikan alternatife didalam memahami
perbedaan, keanekaragaman, tradisi, kebudayaan, kearifan lokal, agama, hingga Negara
dan Bangsa terkait Islam dan Pancasila. Dikemas dalam memahami setiap kekhas-an
setiap prespektif, yang tertuang didalam tulisan-tulisan Rektor Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam Negeri PTKIN.
Buku ini memberikan
nafas baru, detak peradaban yang mengabarkan bagaimana memerangi isu-isu
radikalisme, terorisme, intoleran serta bentuk-bentuk yang secara tafsiran
agama merusak kualitas dan nilai dari agama itu sendiri. Sesuai dengan judulnya
moderasi beragama: dari Indonesia untuk dunia, diharapkan buku ini mampu dibaca
oleh dunia, agar kiranya semangat dan cita-cita luhur mampu tersampaiakan, terlebih kepada masyarakat Indonesia sendiri mampu mengaktualisasikan, membagi,
membimbing, hingga menjadikan sebuah kegiatan didalam menyebarkan tujuan dari
buku ini ditulis.
Saya kira buku ini
mampu tersaji dengan baik dan juga akan berhasil jika setiap individu yang
membacanya memulainya dengan paling tidak mengucap-ucapkan, menginformasikan, hingga melaksanakannya dalam setiap aplikasi sehari-hari dengan penuh kejujuran,
tanggung jawab, serta mengutamakan moralitas dan adab didalam melaksanakan
aktifitas membumikan moderasi beragama.
Terkait harapan
peresensi pada buku ini kedepan diterbitkan tidak hanya pada lingkungan
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) meskipun cakupan dan wilayahnya
berbeda namun se-efektif menghasilkan prespektif dari perguruan tinggi lain
yang bisa jadi menambah khasanah metodologi didalam menggambarkan konsep
moderasi beragama, terkhusus pendekatan lain diluar Perguruan tinggi non Islam
yang sebisanya menjadi kolaborasi didalam menjaga Indonesia. Serta menghasilkan
karya berupa buku yang menarik untuk kita baca dan diskusikan serta menjadi
referensi didalam mengikuti perkembangan zaman namun tidak mengurangi esensi
dari ke Indonesia-an.
Sangat mendidik
BalasHapus